Skip to main content

Halaqah 059 | Hadits 57

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 18 Syawwal 1441 H / 10 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 059 | Hadits 57
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H058
〰〰〰〰〰〰〰 

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 57


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-59 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-57 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin Amr dan Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhum, keduanya berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ 

"Apabila seorang hakim membuat keputusan suatu perkara setelah berijtihad dan benar ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan apabila dia memutuskan suatu perkara setelah berijtihad namun dia keliru, maka baginya satu pahala." (Hadīts riwayat Imam Al Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan yang dimaksud hakim dalam hadīts ini adalah seseorang yang memiliki ilmu yang menjadikannya layak memberikan qadha atau memberikan peradilan.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang qadhi (seorang yang memberikan keputusan perkara di pengadilan), yang syarat tersebut harus dipenuhi agar apa yang dia lakukan termasuk perbuatan yang diizinkan oleh syari'at. Sehingga apabila dia keliru dia tetap mendapatkan pahala dari ijtihad yang dilakukan.

Dari hal tersebut kita bisa mengetahui, bahwasanya orang yang jahil (yang tidak memiliki ilmu), apabila menetapkan keputusan dan hukumnya (hasilnya) benar, maka ia telah berbuat zhālim dan berdosa karena keputusan perkara yang diambil bukan berdasarkan ilmu. Dan dia tidak boleh (tidak halal) baginya untuk memberikan keputusan di dalam perkara kalau dia tidak memiliki ilmu.

Sehingga Syaikh menyebutkan, jika orang yang jahil (tidak memiliki ilmu) maju dalam permasalahan qadha, memutuskan perkara peradilan, meskipun dia benar (dalam keputusannya) maka dia termasuk orang yang zhālim dan berdosa.

Adapun bagi seorang yang dia memiliki ilmu, memiliki kecakapan di dalam peradilan maka dialah orang yang berlaku padanya apa yang disebutkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini yaitu, "Apabila dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, namun apabila ijtihadnya keliru maka baginya satu pahala."

Dalam hadīts ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan bahwa menjadi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara, terdiri dari dua bentuk:

⑴ Ijtihad dalam memberikan hukum syar'i yang tepat dalam perkara yang diadili.

Dia berijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang seharusnya pada perkara tersebut.

⑵ Ijtihad dalam rangka menerapkan kebenaran yang telah diputuskan kepada siapapun baik itu orang terdekat, temannya maupun sebaliknya (misalnya) kepada orang yang dia tidak kenal atau bahkan orang yang tidak dia senangi. Apabila kebenaran (hak) ada pada mereka maka mereka harus diberikan haknya.

Ijtihad kedua ini dia berijtihad untuk bisa menempatkan kebenaran bagaimanapun keadaan dan siapapun yang akan dia dihadapi. Sehingga dia tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Tidak lebih memprioritaskan satu dengan yang lain. Dan dia tidak cenderung kepada hawa nafsunya.

Apabila dua hal ini dia lakukan, yaitu ijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang tepat dan ijtihad untuk bisa bersikap adil, tidak memihak, maka dia mendapatkan apa yang dijanjikan dalam hadīts ini, yaitu dia akan mendapatkan pahala bagaimanapun putusan yang dia berikan. 

Apabila putusannya benar maka dia mendapatkan dua pahala, apabila keputusannya salah maka dia tetap mendapatkan satu pahala, karena kekeliruan yang dia lakukan adalah kekeliruan yang dilakukan di luar batas kemampuannya untuk bisa memutuskan dengan benar.

Maka kita mengetahui perbedaan antara seorang hakim yang benar-benar berijtihad untuk kebenaran dan seorang hakim yang dia adalah shahibul hawa (pengikut hawa nafsu). 

Perbedaannya adalah seorang hakim yang berijtihad untuk kebenaran dia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya disertai dengan adanya niat yang baik dan ijtihad yang benar. Adapun shahibul hawa (pengikut hawa nafsu) dia akan berbicara tanpa ilmu (memberikan keputusan) tanpa ilmu atau memberikan putusan dengan ilmu namum disertai niat yang bertentangan dengan kebenaran. Tidak ingin memberikan hak pada orang yang berhak.

Dari hadīts yang mulia ini kita mengetahui tentang keutamaan seorang hakim yang memiliki sifat niat yang baik dan ijtihad yang benar, telah berusaha semaksimal mungkin untuk berijtihad dan memberikan hak kepada pemilik hak yang seharusnya.

Maka selayaknya seorang yang diberikan tugas atau peran sebagai seorang qadhi (hakim) hendaknya dia memperhatikan hal tersebut sehingga apa yang dia lakukan membuahkan pahala baginya bagaimanapun hasil keputusan yang dia berikan.

Demikian penjelas tentang hadīts mulia ini.


وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم 
وَآخِرُ دَعْوانا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
ولسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
______________________________________



Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->