Muqaddimah Dan Hadits Pertama Bagian 02
Ditulis pada: November 16, 2017
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 04 Shafar 1439 H / 24 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Muqaddimah Dan Hadits Pertama Bagian 02 dari 07
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0102
-----------------------------------
*MUQADDIMAH DAN HADĪTS PERTAMA (BAGIAN 2 DARI 7)*
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأعوانه
Imām Nawawi, beliau adalah Abū Zakariyyā bin Yahya bin Syaraf An Nawawi. Beliau memiliki kunyah Abū Zakariyyā. Akan tetapi kenyataannya beliau tidak memiliki anak yang bernama Zakariyyā, namun gelar beliau adalah Abū Zakariyyā.
Bagaimana beliau memiliki anak, sementara beliau meninggal dalam keadaan belum menikah (beliau tidak menikah).
Disebutkan oleh sebagian ulamā bahwasannya beliau memilih untuk menuntut ilmu sehingga meninggalkan pernikahan.
Dan ini bukan berarti beliau mencela pernikahan, tidak sama sekali. Kondisi Imām Nawawi rahimahullāh sama dengan kondisi Ibnu Taimiyah rahimahullāh yang juga meninggal dalam keadaan belum menikah. Dan kedua ulamā ini tidak mencela pernikahan bahkan penjelasan mereka dalam buku-buku fiqih mereka sangat detail tentang pernikahan.
Bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh, (contohnya) tatkala menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk mendatangi istrinya apakah wajib 4 bulan sekali?
Maka beliau menyatakan tidak demikian yang benar, sesuai kebutuhan. Kapan sang istri membutuhkan sang suami maka sang suami hendaknya memenuhi hajat sang istri.
Beliau menyelisihi banyak ulamā yang menyatakan wajibnya seorang suami hanya 4 bulan sekali.
Artinya, tentang masalah pernikahan, perkataan kedua ulamā ini sangat banyak akan tetapi kemungkinan mereka berdua memiliki kondisi khusus tatkala melihat bahwasannya mereka berdua diberikan karamah oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, diberi kemudahan untuk menuntut ilmu, di mana ilmu tersebut bermanfaat bagi ummat.
Banyak ulamā menjelaskan, seorang yang menikah dibandingkan dengan seorang yang tidak menikah, (misalnya) seseorang tidak menikah karena ingin beribadah seperti; agar bisa berpuasa, agar bisa shalāt malam, agar bisa bershadaqah, kemudian yang satunya dia menikah sehingga waktunya tersita untuk mengurus istrinya, anak-anaknya, dia harus mencari nafkah sehingga waktu ibadahnya kurang.
Mana yang lebih afdal antara keduanya?
Maka mayoritas ulamā mengatakan yang lebih afdhal adalah yang menikah meskipun waktunya tersita sehingga kurang waktu untuk ibadahnya. Karena pernikahan sendiri merupakan ibadah.
Oleh karenanya takkala Nabi ﷺ mendengar seseorang yang menyatakan:
"Adapun saya, saya akan meninggalkan para wanita, saya tidak mau menikah (akan membujang) dalam rangka untuk beribadah."
Maka Nabi ﷺ menegur, beliau mengatakan:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
_Kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allāh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allāh di antara kalian, paling bertakwa kepada Rabb-ku di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur, aku menikahi para wanita. Barangsiapa membenci dari sunnahku bukan dari golonganku._
(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 5063)
Oleh karenanya Nabi ﷺ menikahi para wanita dan Nabi ﷺ menganjurkan untuk menikah.
Sehingga orang yang menikah meskipun waktunya tersita untuk mencari nafkah untuk anak-istrinya, lebih afdhal daripada orang yang tidak menikah dalam rangka untuk beribadah. Ini dijelaskan oleh para ulamā.
Akan tetapi Al Imām An Nawawi rahimahullāh, sebagaimana Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah, kondisi mereka berdua ini mungkin berbeda dan mereka lebih mengutamakan menuntut ilmu.
Kenapa?
Karena faedah dari ilmu tersebut bukan terbatas pada diri mereka tetapi bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
Dan terbukti seperti Imām Nawawi rahimahullāh, beliau tidak menikah demi untuk menulis begitu banyak buku, untuk menuntut ilmu, sehingga buku-buku yang ditinggalkan bermanfaat bagi kaum muslimin.
Dari sini kita katakan beliau berdua meninggalkan pernikahan bukan karena membenci sunnah Nabi ﷺ, akan tetapi karena ada maslahat yang mereka berdua lihat, di antaranya maslahat tentang tersebarnya ilmu di alam dunia Islām.
Al Imām An Nawawi tidak punya anak tetapi beliau dikenal dengan gelar (kunyah) Abū Zakariyyā, dan ini sunnah Nabi ﷺ, bahkan orang yang tidak punya anak boleh untuk memiliki kunyah.
Sebagaimana 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā, pernah berkata kepada Nabi ﷺ:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم–: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
_"Yā Rasūlullāh, seluruh istri-istrimu punya kunyah kecuali saya, saya tidak punya kunyah."_
_Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:_
_"Engkau wahai 'Āisyah, berkunyahlah dengan Ummu Abdillāh."_
(Hadīts riwayat Ahmad 6/107,151, Abū Dāwūd nomor 4970)
Padahal 'Āisyah tidak punya anak bernama Abdullāh, tetapi ia punya keponakan bernama Abdullāh bin Zubair yang merupakan anak saudari perempuannya 'Asmā binti Abū Bakr.
Demikian pula sebagaimana hadīts yang mahsyur takkala Nabi ﷺ memanggil seorang anak kecil dengan Abū 'Umāir.
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ
(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 6203 dan Muslim nomor 2150)
'Umāir masih kecil dan tidak memiliki anak namun sudah dipanggil Abū 'Umāir oleh Nabi ﷺ.
Dari sini Al Imām An Nawawi rahimahullāh memiliki kunyah Abū Zakariyyā meskipun beliau tidak punya anak bahkan beliau tidak menikah.
Al Imām An Nawawi rahimahullāh diberi gelar Muhyiddin, artinya penghidup agama (yang menghidupkan kembali agama) dan gelar ini tersebar di zaman beliau masih hidup.
Dan beliau membenci gelar ini (diantara tawadhu'nya Imām An Nawawi rahimahullāh), beliau tidak suka diberi gelar Muhyiddin.
Tidak sebagaimana sebagian orang suka diberi gelar-gelar bahkan berbangga-bangga dengan gelar-gelar yang mereka miliki.
Adapun Imām An Nawawi rahimahullāh dia tidak ingin diberi gelar tersebut, akan tetapi orang-orang memberi gelar beliau dengan muhyiddin (menghidupkan kembali agama) karena ilmu beliau yang sangat luas.
Demikian saja apa yang bisa disampaikan pada kesempatan kali ini, in syā Allāh besok kita lanjutkan dengan idzin Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-----------------------------------------
Selasa, 04 Shafar 1439 H / 24 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Muqaddimah Dan Hadits Pertama Bagian 02 dari 07
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0102
-----------------------------------
*MUQADDIMAH DAN HADĪTS PERTAMA (BAGIAN 2 DARI 7)*
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأعوانه
Imām Nawawi, beliau adalah Abū Zakariyyā bin Yahya bin Syaraf An Nawawi. Beliau memiliki kunyah Abū Zakariyyā. Akan tetapi kenyataannya beliau tidak memiliki anak yang bernama Zakariyyā, namun gelar beliau adalah Abū Zakariyyā.
Bagaimana beliau memiliki anak, sementara beliau meninggal dalam keadaan belum menikah (beliau tidak menikah).
Disebutkan oleh sebagian ulamā bahwasannya beliau memilih untuk menuntut ilmu sehingga meninggalkan pernikahan.
Dan ini bukan berarti beliau mencela pernikahan, tidak sama sekali. Kondisi Imām Nawawi rahimahullāh sama dengan kondisi Ibnu Taimiyah rahimahullāh yang juga meninggal dalam keadaan belum menikah. Dan kedua ulamā ini tidak mencela pernikahan bahkan penjelasan mereka dalam buku-buku fiqih mereka sangat detail tentang pernikahan.
Bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh, (contohnya) tatkala menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk mendatangi istrinya apakah wajib 4 bulan sekali?
Maka beliau menyatakan tidak demikian yang benar, sesuai kebutuhan. Kapan sang istri membutuhkan sang suami maka sang suami hendaknya memenuhi hajat sang istri.
Beliau menyelisihi banyak ulamā yang menyatakan wajibnya seorang suami hanya 4 bulan sekali.
Artinya, tentang masalah pernikahan, perkataan kedua ulamā ini sangat banyak akan tetapi kemungkinan mereka berdua memiliki kondisi khusus tatkala melihat bahwasannya mereka berdua diberikan karamah oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, diberi kemudahan untuk menuntut ilmu, di mana ilmu tersebut bermanfaat bagi ummat.
Banyak ulamā menjelaskan, seorang yang menikah dibandingkan dengan seorang yang tidak menikah, (misalnya) seseorang tidak menikah karena ingin beribadah seperti; agar bisa berpuasa, agar bisa shalāt malam, agar bisa bershadaqah, kemudian yang satunya dia menikah sehingga waktunya tersita untuk mengurus istrinya, anak-anaknya, dia harus mencari nafkah sehingga waktu ibadahnya kurang.
Mana yang lebih afdal antara keduanya?
Maka mayoritas ulamā mengatakan yang lebih afdhal adalah yang menikah meskipun waktunya tersita sehingga kurang waktu untuk ibadahnya. Karena pernikahan sendiri merupakan ibadah.
Oleh karenanya takkala Nabi ﷺ mendengar seseorang yang menyatakan:
"Adapun saya, saya akan meninggalkan para wanita, saya tidak mau menikah (akan membujang) dalam rangka untuk beribadah."
Maka Nabi ﷺ menegur, beliau mengatakan:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
_Kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allāh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allāh di antara kalian, paling bertakwa kepada Rabb-ku di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur, aku menikahi para wanita. Barangsiapa membenci dari sunnahku bukan dari golonganku._
(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 5063)
Oleh karenanya Nabi ﷺ menikahi para wanita dan Nabi ﷺ menganjurkan untuk menikah.
Sehingga orang yang menikah meskipun waktunya tersita untuk mencari nafkah untuk anak-istrinya, lebih afdhal daripada orang yang tidak menikah dalam rangka untuk beribadah. Ini dijelaskan oleh para ulamā.
Akan tetapi Al Imām An Nawawi rahimahullāh, sebagaimana Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah, kondisi mereka berdua ini mungkin berbeda dan mereka lebih mengutamakan menuntut ilmu.
Kenapa?
Karena faedah dari ilmu tersebut bukan terbatas pada diri mereka tetapi bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
Dan terbukti seperti Imām Nawawi rahimahullāh, beliau tidak menikah demi untuk menulis begitu banyak buku, untuk menuntut ilmu, sehingga buku-buku yang ditinggalkan bermanfaat bagi kaum muslimin.
Dari sini kita katakan beliau berdua meninggalkan pernikahan bukan karena membenci sunnah Nabi ﷺ, akan tetapi karena ada maslahat yang mereka berdua lihat, di antaranya maslahat tentang tersebarnya ilmu di alam dunia Islām.
Al Imām An Nawawi tidak punya anak tetapi beliau dikenal dengan gelar (kunyah) Abū Zakariyyā, dan ini sunnah Nabi ﷺ, bahkan orang yang tidak punya anak boleh untuk memiliki kunyah.
Sebagaimana 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā, pernah berkata kepada Nabi ﷺ:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم–: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
_"Yā Rasūlullāh, seluruh istri-istrimu punya kunyah kecuali saya, saya tidak punya kunyah."_
_Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:_
_"Engkau wahai 'Āisyah, berkunyahlah dengan Ummu Abdillāh."_
(Hadīts riwayat Ahmad 6/107,151, Abū Dāwūd nomor 4970)
Padahal 'Āisyah tidak punya anak bernama Abdullāh, tetapi ia punya keponakan bernama Abdullāh bin Zubair yang merupakan anak saudari perempuannya 'Asmā binti Abū Bakr.
Demikian pula sebagaimana hadīts yang mahsyur takkala Nabi ﷺ memanggil seorang anak kecil dengan Abū 'Umāir.
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ
(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 6203 dan Muslim nomor 2150)
'Umāir masih kecil dan tidak memiliki anak namun sudah dipanggil Abū 'Umāir oleh Nabi ﷺ.
Dari sini Al Imām An Nawawi rahimahullāh memiliki kunyah Abū Zakariyyā meskipun beliau tidak punya anak bahkan beliau tidak menikah.
Al Imām An Nawawi rahimahullāh diberi gelar Muhyiddin, artinya penghidup agama (yang menghidupkan kembali agama) dan gelar ini tersebar di zaman beliau masih hidup.
Dan beliau membenci gelar ini (diantara tawadhu'nya Imām An Nawawi rahimahullāh), beliau tidak suka diberi gelar Muhyiddin.
Tidak sebagaimana sebagian orang suka diberi gelar-gelar bahkan berbangga-bangga dengan gelar-gelar yang mereka miliki.
Adapun Imām An Nawawi rahimahullāh dia tidak ingin diberi gelar tersebut, akan tetapi orang-orang memberi gelar beliau dengan muhyiddin (menghidupkan kembali agama) karena ilmu beliau yang sangat luas.
Demikian saja apa yang bisa disampaikan pada kesempatan kali ini, in syā Allāh besok kita lanjutkan dengan idzin Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-----------------------------------------