Skip to main content

Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahullah

Sebagaimana yang telah redaksi janjikan dalam rubrik berita dunia Islam beberapa waktu lalu, bahwa kami akan menurunkan biografi Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah yang wafat pada hari Selasa, 5 Februari 2008 lalu. Berikut rinciannya.!

Beliau berasal dari suku tersohor, Bani Zaid al-Qudhai’yyah di Hadhirat al-Wasym, dataran tinggi Nejed. Di sanalah beliau dilahirkan, tepatnya pada tahun 1365 H.

Beliau belajar di sekolah tradisional hingga kelas 2 Ibtidaiyah, kemudian pindah ke kota Riyadh tahun 1375 H. Di sana, beliau melanjutkan sekolah ibtidaiyahnya, kemudian masuk Ma’had ‘Ilmi, kemudian masuk fakultas Syariah. Beliau menamatkan strata satu (S1) tahun 1387 H di fakultas Syariah di Riyadh sebagai Muntasib (Affilial) dan berhasil meraih prestasi tertinggi.

Pada tahun 1384 H, beliau pindah ke Madinah Munawwarah bekerja sebagai kepala perpustakaan umum milik Universitas Islam (al-Jami’ah al-Islamiah). Di samping belajar formal, beliau juga ‘ngaji’ dengan sejumlah Halaqah (pengajian) beberapa Syaikh di Riyadh, Mekkah al-Mukarramah dan Madinah Munawwarah.

Di Riyadh, beliau menimba ilmu al-Maqamat dari Syaikh al-Qadhi Shalih bin Muthlaq. Kepada gurunya ini, beliau membacakan 25 Maqamah di dalam kitab Maqamat karya al-Hariri.

Di Mekkah, beliau mengaji dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan membacakan kepadanya kitab tentang haji pada kitab al-Muntaqa karya Mujaddid, Syaikhul Islam, Ibn Taimiah pada musim haji tahun 1385 H di al-Masjid al-Haram.

Sedangkan di Madinah, beliau kembali bertemu dan mengaji dengan Syaikhnya, Ibn Baz dan membacakan kepadanya kitab Fath al-Bari dan Bulugh al-Maram, serta sejumlah Risalah dalam pelajaran Fiqih, Tauhid dan Hadits di kediaman Syaikhnya tersebut. Beliau bahkan ‘nyantri’ dengan Syaikhnya itu selama 2 tahun hingga mendapatkan Ijazah.

Beliau juga ‘nyantri’ dengan Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi (pengarang kitab tafsir terkenal, Adhwa` al-Bayan-red) selama 10 tahun sejak pindah ke Madinah Munawwarah sampai gurunya itu wafat pada musim haji tahun 1393 H. Dengan gurunya tersebut, beliau membacakan tafsirnya, Adhwa` al-Bayan dan risalahnya, Adab al-Bahts Wa al-Munazharah. Beliau merupakan satu-satunya murid yang mengambil ilmu Nasab dari Syaikhnya itu. Beliau membacakan kepadanya kitab al-Qashd Wa al-Umam karya Ibn ‘Abd al-Barr. Beliau juga membacakan kepadanya beberapa risalah.

Beliau juga melalukan sejumlah diskusi dengan Syikhnya dan saling membagi ilmu. Beliau memiliki 20 Ijazah dari sejumlah ulama al-Haramain (Mekkah dan Madinah), Riyadh, Maroko, Syam, India, Afrika dan lainnya. Beliau memuat semua itu dalam memo tersendiri.

Tahun 1399 H, beliau belajar di Ma’had ‘Ali jurusan Qadha (Peradilan) sebagai affilial saja, lalu meraih gelar Magister. Dan pada tahun 1403 H, beliau meraih gelar Doktor.

Pada tahun 1387 H, setamatnya dari kuliah di fakultas Syariah, beliau terpilih menjadi Qadhi di Madinah Munawwarah yang berlangsung hingga tahun 1400 H.

Pada tahun 1390 H, beliau ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Nabawi. Tugas ini berlangsung hingga tahun 1400 H. Tahun 1391 H, turunlah SK raja yang mengangkatnya menjadi imam dan khatib Masjid Nabawi. Tugas ini berlangsung hingga awal tahun 1396 H.

Pada tahun 1400 H, beliau ditunjuk menjadi wakil kementerian kehakiman. Tugas ini berlangsung hingga akhir tahun 1412 H. Dan pada tahun ini juga (1412 H) turun SK raja yang menaikkan pangkatnya ke level al-Martabah al-Mumtazah, sebagai anggota Lembaga Tetap Fatwa dan Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.

Pada tahun 1495 H, turun pula SK raja yang mengangkatnya sebagai delegasi kerajaan untuk Lembaga Fiqih Islam Internasional (al-Mujamma’ al-Fiqh al-Islami ad-Duali), yang merupakan salah satu divisi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kala itu, beliau terpilih sebagai ketuanya.

Karya-Karya Beliau

Syaikh Bakr Abu Zaid telah menelorkan banyak karya ilmiah di bidang hadits, fiqih, bahasa dan wawasan umum.

Di antara karya-karya tersebut adalah: 
1. Ibn al-Qayyim; Hayatuhu, Wa Atsaruhuu Wa Mawariduhu 
2. at-Taqrib Li ‘Ulum Ibn al-Qayyim 
3. Fiqh an-Nawazil (2 jilid) 
4. Mu’jam al-Manahi al-Lafzhiyyah 
5. Thabaqat an-Nassabin 
6. Ma’rifah an-Nusakh al-Haditsiah 
7. at-Tahdits Fi Ma La Yashihhu Fihi Hadits 
8. Hilyah Thalib al-‘Ilm 
9. at-Ta’alum 
10. ar-Riqabah ‘Ala at-Turats 
11. Ta’rib al-Alqab al-‘Ilmiah 
12. Adab Thalib al-Hadits Min al-Jami’ Li al-Khathib 
13. at-Tarajum adz-Dzatiah Min ‘Uzzab Wa al-‘Ulama` Wa Ghairuhum 
14. Tasmiah al-Maulud 
15. ‘Aqidah Ibn Abi Zaid al-Qairawani Wa ar-Radd ‘Ala Man Khalafaha 
16. Tashnif an-Nas Baina azh-Zhann Wa al-Yaqin 
17. Hukum al-Intima` 
18. Hajr al-Mubtadi’ 
19. at-Tahdzir Min Mukhtasharat ash-Shabuni Fi at-Tafsir 
20. Bara`ah Ahl as-Sunnah Min al-Waqi` Fi ‘Ulama` al-Ummah 
21. Khasha`ish Jazirah al-‘Arab 
22. Juz`un Fi Mash al-Wajh Bi al-Yadain Ba’da ad-Du’a` 
23. Juz`un Fi Ziyarah an-Nisa` Li al-Qubur 
24. Bida’ al-Qurra` 
25. La Jadid Fi Ahkam ash-Shalah 
26. Tahqiq Kitab al-Jadd al-Hatsits Fi Bayan Ma Laisa Bi Hadits Li al-‘Amiri 
27. Tahqiq Ikhtiyarat Ibn Taimiah Li al-Burhan Ibn al-Qayyim 
28. Adzkar Tharafai an-Nahar 
29. Tahrif an-Nushush 
30. al-Mutsamanah Fi al-‘Iqar 
31. Adab al-Hatif 
32. Adab ats-Tsaub Wa al-Izar

Semoga Allah merahmati Syaikh Bakr Abu Zaid, menempatkannya di surga-Nya nan maha luas, menganugerahkan keluarga besar, kerabat, para pencinta dan muridnya serta orang-orang yang mendapatkan manfaat ilmunya kesabaran dan hiburan. Amin. (AH)

Sumber : Al-Sofwa


Ilmu harus ada sebelum berkata dan berbuat. Bila beramal tanpa ilmu dapat membinasakan, maka berfatwa tanpa ilmu dapat menyesatkan. Adapun orang yang tidak berilmu namun menampakkan dirinya seolah-olah berilmu, dia adalah orang sombong yang sok pintar dan sok tahu. Kita berlindung kepada Allah azza wa jalla dari sifat buruk ini.

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zayd rahimahullah mengatakan, “Hati-hati! Jangan sampai jadi Abu Syibr (Abu Sejengkal). Sebagaimana telah dikatakan, ilmu itu terdiri dari tiga jengkal (tingkatan): siapa yang baru masuk pada jengkal pertama akan sombong, ketika naik ke jengkal kedua mulai tawaduk (rendah hati), dan siapa yang naik hingga jengkal ketiga ia tahu bahwa dirinya tidak tahu (karena begitu luasnya samudra ilmu).”

Saudaraku, beliau menasihati kita agar tidak istiqomah pada jengkal pertama, ilmu baru sedikit, namun sombongnya amit-amit. Ilmu belum ada, tapi ucapan dan fatwa membahana. Sehingga gelar yang pantas disandang oleh orang seperti ini adalah Abu Syibr alias Abu Sejengkal alias Si Bodoh yang Sombong.

Fenomena sok tahu banyak permasalahan agama banyak menjangkiti para penuntut ilmu. Bahaya terburuk yang dihasilkannya ialah dapat menyeret kepada berkata tentang agama tanpa ilmu. Syaikh Bakr Abu Zayd rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya sikap sok tahu merupakan tangga menuju berkata dalam agama tanpa ilmu.”

Orang yang sok tahu melupakan ilmu dan tidak menjaganya, berusaha menjadi balig padahal belum waktunya, ia gunakan kebaikan untuk melakukan keburukan.

Ibnu Hajar al-‘Asqolani rahimahullah mengatakan: “Bila seseorang berkata tidak sesuai keilmuannya, niscaya ia akan membawa berbagai hal yang luar biasa nyelenehnya.”

Di antara doa al-Hasan al-Basri rahimahullah dahulu adalah, “Ya Allah, aku mengeluhkan kepada-Mu buih kotor ini (yakni fenomena sok tahu).”

Semoga Allah menghindarkan kita dari penyakit buruk yang dapat menyeret kepada berkata tanpa ilmu ini.

KISAH NYATA ORANG SOK TAHU

Bila melihat realita zaman sekarang, banyak sekali kita dapati orang-orang yang sok pintar dan sok tahu. Sekiranya kita berusaha mengumpulkannya, maka akan dapat tersusun dalam beberapa jilid kitab tebal. Sekiranya fenomena sok tahu tersebut dalam urusan dunia, maka itu masih ringan. Namun, yang sangat disayangkan dan begitu menyedihkan, ternyata fenomena nyata tersebut banyak terjadi dalam urusan agama dan perkara akhirat. Hanya kepada Allah kita banyak-banyak beristighfar.

Yang akan disampaikan di sini adalah beberapa kisah sok tahu dari orang-orang dahulu –lalu bagaimana di zaman sekarang?!!- yang tercatat rapi di dalam kitab-kitab para ulama. Semoga kita dimudahkan untuk mengambil pelajaran darinya.

Kisah Pertama: Mufti Khunfusyar

Singkat cerita, dahulu ada seorang mufti yang memberi fatwa kepada setiap orang yang bertanya kepadanya tanpa bimbang ragu. Orang-orang yang sezaman dengannya memperhatikan fenomena itu, hingga akhirnya mereka sepakat untuk mengujinya dengan membuat kata baru yang tidak ada asal-usulnya, yakni “KHUNFUSYAR” lalu mereka bertanya kepada fulan ini tentang maknanya. Ternyata, ia langsung menjawabnya: (Khunfusyar) adalah tumbuhan berbau harum yang tumbuh di ujung-ujung kota Yaman, bila unta memakannya niscaya air susunya menjadi lebih kental. Seorang pujangga dari Yaman berkata:

Sungguh, kecintaan mereka telah mengikat hatiku

sebagaimana khunfusyar mengentalkan air susu

Dawud al-Anthoki berkata di dalam kitab at-Tadzkiroh-nya demikian dan demikian, fulan ini dan fulan itu berkata demikian, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda …. .

Sampai di sini (sebelum membuat hadis Nabi) orang-orang yang bertanya itu menyuruh Mufti Khunfusyar ini berhenti. Mereka berkata: “Engkau telah berdusta atas nama fulan ini dan itu! Jangan sampai engkau berdusta atas nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam!”

Waduh, inilah kecerdasan yang keblinger. Fatwa keluar mengalir begitu saja, dengan mudah membawakan sebuah bait syair dan ucapan ulama, bahkan hampir saja berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan dari kecerdasan yang keblinger ini.

Kisah kedua: Salat Magrib bisa Diqoshor?

Adalah Syams bin ‘Atho’ ar-Razi, salah seorang yang dekat dengan Timur Lang, mengaku banyak memiliki hafalan, sehingga orang-orang merasa takjub dengannya. Singkat cerita disepakatilah sebuah majelis untuk mengujinya. Di antara pertanyaan yang disampaikan ialah, “Apakah ada nash (dalil) yang menunjukkan bahwa salat magrib bisa diqoshor? Ternyata ia menjawab: “Iya, ada keterangan tentang itu pada hadis Jabir di kitab al-Firdaus karya Abu al-Laits as-Samarqandi.”

Orang-orang pun merujuk ke kitab tersebut namun tidak ditemukan keterangan tentang itu, lalu disampaikan hasil pemeriksaan itu kepadanya. Ternyata ia mengatakan: “Kitab karya as-Samarqandi tersebut terdiri dari tiga naskah: Kubro (Besar), Wusto (Sedang), dan Sughro (Kecil), sementara hadis tersebut ada di naskah Kubro, dan yang itu belum ada di negeri kita ini….”

Sejak mendengar jawabannya yang aneh itu, orang-orang tahu dan merasa bahwa ia telah berdusta dengan jawabannya.

Ada-ada saja, salat magrib bisa diqoshor, berarti menjadi satu setengah rakaat, bagaimana prakteknya ya?!

Kisah Ketiga: Apakah Ada Keraguan terhadap Keberadaan Allah?

Dahulu ada seorang pemuda penuntut ilmu bermazhab Syafi’i yang belum matang keilmuannya, sementara penduduk negerinya membutuhkan seorang Mufti, mereka tidak mendapatkan seorang pun yang layak kecuali dirinya. Karena ragu menerima pemintaan mereka, ia menemui dan berkonsultasi dengan Syaikh-nya. Sang guru memberi solusi untuk menjawab setiap pertanyaan dengan menyebutkan “di mazhab Syafi’i dalam masalah ini ada dua pendapat,” untuk selanjutnya ia dapat memeriksanya di kitab-kitab ulama. Dan …. ternyata dia benar-benar melakukannya.

Lama-kelamaan penduduk negeri mengamatinya banyak menjawab dengan jawaban yang sama. Hingga akhirnya ada seorang dari mereka yang bertanya: “Apakah ada keraguan terhadap keberadaan Allah?” Mufti muda itu istiqomah, ia menjawab dengan jawaban yang sama, “Dalam hal ini ada dua pendapat !!!” Sejak saat itu terkuaklah kedok mufti muda tersebut.

Waduh, bahaya bila ada seorang muslim yang meragukan keberadaan Allah, tidak beriman kepada wujud Allah. Hanya kepada Allah kita berlindung dari keyakinan nyeleneh seperti ini.

Namun, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zayd rahimahullah memiliki komentar tersendiri tentang kisah di atas, beliau mengatakan: “Kisah ini tidak ditemukan di sumber yang dapat dipercaya. Yang tampak bagiku, wallahu a’lam, kisah ini termasuk rencana orang-orang yang bermazhab Hanafi untuk menghancurkan mazhab Syafi’i, sebab di antara mereka terjadi permusuhan mazhab yang sangat jelas.”

Mau lihat fenomena fanatisme yang lain terhadap mazhabnya? Berikut contohnya:

Makmun bin Ahmad al-Harowi salah satu perawi hadis yang banyak membuat-buat hadis palsu lengkap dengan sanad palsunya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara hadis yang ia buat berbunyi (dan dia menyandarkannya kepada Nabi):

يَكُوْنُ فِي أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّّدُ بْنُ إِدْرِيْسَ أَضَرُّ عَلَى أَمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ، وَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ

“Akan ada di umatku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris, ia lebih berbahaya dari pada Iblis. Dan akan muncul di tengah umatku seseorang yang dikenal dengan Abu Hanifah, dia adalah lentera bagi umatku.”

[Silakan baca keterangan Syaikh al-Albani seputar al-Harowi dan hadis palsunya tersebut di kitab Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah wa al-Maudhuu’an, nomor hadis 570.]

Tahukah anda siapa Muhammad bin Idris? Beliau adalah Imam Syafi’i rahimahullah. Ini adalah permusuhan nyata segelintir orang yang bermazhab Hanafi kepada mazhab Syafi’i. Jangan dikira ini kebaikan, sebaliknya ini adalah sejarah buruk lagi kelam yang telah dilalui oleh umat Islam.

Kisah Keempat: Di Manakah Ususnya Semut?

Adalah Muqatil bin Sulaiman salah seorang perawi hadis. Meskipun berilmu, namun ia mendapat ujian dengan sikap “sok tahu.” Di antara riwayat yang ada, dia pernah berkata: “Silakan bertanya kepadaku segala sesuatu yang ada di bawah ‘Asry Allah?”

Mendengar itu orang-orang bertanya: “ Dimanakah letaknya usus semut?” ternyata ia diam. Mereka juga bertanya kepadanya: “Ketika Nabi Adam pergi haji, siapakah yang mencukur rambutnya?” Ia menjawab: “Saya tidak tahu.”

Oleh karena itu Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkomentar tentangnya: “Ulama bersepakat untuk meninggalkannya (tidak mengambil riwayat darinya).”

“Silakan bertanya kepadaku segala sesuatu yang ada di bawah ‘Asry?” Kalimat ini juga menunjukkan kesombongan. Seharusnya semakin orang itu berilmu, semakin tawaduk-lah ia. Semoga Allah membimbing kita kepada sikap rendah hati.

Catatan:

Beberapa perkataan dan kisah nyata di atas diambil dari dua kitab al-Ta’aalum wa Atsaruhu ‘alaa al-Fikri wa al-Kitab dan Hilyah Thaalib al-‘Ilmi, keduanya karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zayd rahimahullah. Kedua kitab tersebut dapat ditemukan dalam sebuah kitab tebal yang berjudul al-Majmuu’ah al-‘Ilmiyyah cetakan Dar al-‘Ashimah, yang berisi lima risalah karya Syaikh Bakr, di mana pada urutan pertama dan kedua adalah dua kitab di atas. Sumber : www.sulhan.net

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->